Tittle : WIWAM (Whether It Was
A Mistake?) Chapter 2
Author: Kim Hye Jin_MRS
Main cast : WooGyu (Woo Hyun X
Sung Gyu)
Support cast : Infinite member,
muncul sesuai dengan kebutuhan(?)
Genre : Sad, school life,
family, friendship dll(?)
Rated : untuk semua anak woogyu
yang bertebaran di dunia
Length : Chapter 2 of...?
Summary : “Siapa yang harus ku
salahkan. Apakah cinta yang ada dalam hatiku, ataukah aku yang memang salah
mencintaimu?”
WARNING : pemakaian EYD tidak
ada yang benar, bahasanya asal-asalan, bertele-tele, typo bertebaran. Jelek?
Harap di maklumin karena saya masih belajar untuk jadi Author yang baik.
NOTE : FF ini benar-benar
berasal dari otak+pemikiran Author yang terbatas. Jadi, kalau ada kalimat yang
sama dengan FF yang lain berarti itu murni ketidak sengajaan.
(~0~ Happy Reading
~0~)
Sebelumnya dichapter 1
‘Sahabat
adalah keluarga keduaku setelah eomma dan imo. Selalu menyediakan pundaknya
ketika ku butuh.’
Chapter 2
Seperti yang dikatakan Myung Soo tadi,
kami kembali ke kelas. Saat kami sampai di kelas ternyata tak ada guru yang
mengajar. Sebenarnya kami sudah biasa untuk kelas tanpa guru dan belajar
mandiri, tapi aku yang selalu tak kuat dengan keadaan. Kalau tak ada guru,
kemesraan Woo Hyun dan Sung Yeol semakin menjadi. Aku tahu, hari ini pasti akan
seperti hari-hari sebelumnya. Sakit dan sakit lagi.
Aku dan Myung Soo terdiam diambang pintu
melihat Woo Hyun dan Sung Yeol yang tampak mesra seperti biasa. Myung Soo
menggenggam tanganku kemudian menyeret langlahku menuju bangku. Aku menunduk
dalam sambil mengikuti langkah Myung Soo.
“MyungGyu cuople! Lihat Key, apa kau tak
berniat mencari namja chingu? Semua siswa super five sudah mempunyai namja
chingu. Sekarang tinggal kau,” itu segenap suara Woo Hyun yang aku dengar saat
tak sengaja ia melihatku dan Myung Soo masuk kelas dengan berpegangan tangan.
Lagi-lagi hatiku terenyuh, kali ini
karena ucapan Woo Hyun, tadi karena sikapnya. Mungkin suatu saat nanti ucapan
dan sikapnya yang akan menyakitiku secara bersamaan. Aku tak mencintai Myung
Soo, Woo Hyun-ah, asal kau tahu itu! Seandainya bibirku ini mampu mengucapkan
hal itu, sudah dari hari-hari lalu aku katakan. Tapi bibirku selalu keluh untuk
mengucapkan hal itu. Di sisi lain aku tidak tahan karena aku selalu tersakiti
akibat ulahku sendiri yang tak bisa mengungkapkan pada Woo Hyun. Tapi di sisi
lain aku merasa menjadi pihak ketiga antara Woo Hyun dan Sung Yeol. Demi sepupu
yang tak pernah menganggapku, mungkin aku harus mengalah dan menyembunyikan
perasaan besarku pada Woo Hyun dalam lubang hatiku yang kecil.
Aku berniat melepas tangan Myung Soo
tapi Myung Soo semakin mengeratkan genggamannya, tak ingin melepas tanganku. Ia
mendudukkanku di kursi kemudian ia mengambil tasnya dengan tasku dan
mencangklongkan pada bahunya.
“Tak ada guru, kita pulang saja, Gyu.”
Singkatnya.
Ku lihat Woo Hyun berdiri dari duduknya
dan melangkahkan kakinya menuju tempat dudukku, sedangkan Sung Yeol seperti
biasa, tampak ramah dengan senyumannya padaku. Hanya appa dan eomma Sung Yeol
yang tak mengakuiku, Sung Yeol tetap seperti biasa padaku. Perebutan harta
warisan memang sangat berpengaruh. Sudahlah, itu urusan orang tuaku.
“Sekarang memang tak ada guru yang
mengajar, tapi kita ada tugas di LAB”
“Cih! Aku tak peduli,” ucap Myung Soo
datar.
Ia segera menarik tanganku melewati Woo
Hyun yang tampak semakin tak suka padaku. Aku tak bisa melawan kalau Myung Soo
sudah berada diambang kemarahan seperti ini, aku hanya bisa mengikuti langkah
kakinya membawaku kemana saja atas kemauannya.
=====*=====
“Kau benar-benar licik, Myung.” Ucapku
sambil menahan tawa. Di sinilah kami sekarang, taman belakang sekolah. Aku
hanya manatap jengkel pada Myung Soo. Bisa-bisanya dia bilang akan pulang tapi
nyatanya ia hanya membawaku keluar dari super five.
“Hahahaha ... aku hanya tak ingin kau melihat
Woo Hyun.”
“Pantas saja kau bisa masuk kelas super
five. Kau tak hanya pintar, tapi kau juga licik. Ck!”
Decakanku hanya dijawab tawa olehnya.
Benar-benar menyebalkan. Walaupun demikian, aku tetap senang memiliki sahabat
sepertinya. Aku tahu dia tak hanya simpati padaku, dia sudah empati.
Persahabatan kami yang sudah hampir tiga tahun benar-benar memiliki sejarah
yang indah untuk dikenang. Tak seperti cintaku. Sudahlah, aku tak ingin
mengingatnya. Myung Soo akan marah lagi kalau ia melihatku sedih karena Nam Woo
Hyun.
Dari pada kami duduk di bangku taman
yang memang sudah disediakan oleh pihak sekolah, kami memilih untuk duduk di
rumput hijau dibawah pohon yang rindang. Memandangi hamparan ilalang yang
tampak meliuk-liukkan badannya karena sentuhan lembut yang angin ciptakan.
Ku tolehkan kepalaku ke samping. Myung
Soo memejamkan matanya sambil menikmati suara angin yang berdesir lembut di
telinganya. Lalu ku luruskan lagi pandanganku ke depan.
“Gyu ...” serunya.
“Eum ...” jawabku masih tak mengalihkan
perhatianku sambil memejamkan mata mengikuti Myung Soo.
“Kau itu seperti ilalang,”
“He!? Maksudmu,” Aku membuka mataku
kemudian menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya, menunggu jawaban dari
ucapannya. Ia membuka matanya kemudian menatap ilalang yang tampak merunduk,
mengacung ke atas, dan ada pula yang mati.
“Kau dan Woo Hyun. Kalian tampak seperti
ilalang dan angin,” ia menolehkan kepalanya padaku sambil tersenyum hingga
lesung pipinya terlihat, lalu kembali menarik pandangannya ke depan.
“Ilalang adalah rumput liar yang kokoh
dan kuat. Ia bisa bertahan hidup di tanah yang gersang tanpa membutuhkan
tumbuhan lain. Ilalang adalah rumput liar yang selalu merindukan angin. Ia
terus berdiri dengan tegak menunggu angin untuk menyapanya. Tapi ketika angin datang
dan berhembus kencang hingga ilalang meliuk-liukkan tubuhnya dan merundukkan
bunganya, ia tetap kokoh dan menginginkan angin untuk kembali menyapanya suatu
saat nanti. Ia setia pada angin. Ketika angin pergi meninggalkannya lagi,
ilalang hanya menatap kepergian angin dengan pasrah. Mengagumi dari jarak jauh
dan menerima lapang dada jika sewaktu-waktu angin membuatnya merunduk lagi,”
Aku tercengang mendengar penuturan Myung
Soo. Ia menarik napas sebentar kemudian menatapku, “Kau, Kim Sung Gyu. Remaja
yang pindah ke Seoul demi mewujudkan mimpinya. Mencintai seorang Nam Woo Hyun
yang jelas-jelas tak pernah melihatnya. Walaupun Kim Sung Gyu tahu Nam Woo Hyun
hanya bisa menyakitinya, tapi Kim Sung Gyu tetap mencintai Nam Woo Hyun dan
menunggu Nam Woo Hyun untuk membalas cintanya. Kim Sung Gyu adalah orang yang
hanya bisa melihat Nam Woo Hyun bermesraan dengan sepupunya sendiri di depan
matanya. Walaupun Kim Sung Gyu tahu bahwa itu menyakitkan, tapi ia tak bisa
berhenti berharap bahwa suatu hari nanti Nam Woo Hyun pasti akan membalas
cintanya,” lanjutnya panjang lebar. Aku tersenyum. Iya benar, aku tersenyum
dengan manis pada Myung Soo. Tapi Myung Soo yang menitikkan air matanya. Aku
mendekatkan badanku padanya, kemudian mngulurkan tanganku untuk mengusap air matanya.
“Kenapa kau menangis eoh!”
“..... apa kau tak merasa sakit saat aku
menceritakan tentang hidupmu, Gyu?” Aku menggelengkan kepalaku, “Tak ada yang
patut untuk ditangisi, Myung. Aku berjuang. Jadi aku benar-benar harus kuat
seperti ilalang,”
“Lalu kenapa di perpus tadi kau nangis?”
“Tangisan ditumpahkan kalau hati sudah
tak tau apa yang harus di katakan, itu adalah isyarat mata,” ucapku mengakhiri
percakapan kami.
Aku kembali menarik badanku dan menatap
hamparan ilalang yang tampak meliuk-liukkan badannya, Myung Soo mengikutiku. Ia
kembali pada posisi awalnya.
Lama kami terjebak dalam keheningan,
hingga Myung Soo memecah kembali keheningan yang sempat terjadi, “Aku ingin
melihat Kim Sung Gyu sukses,” gumamnya lirih membuatku lagi-lagi membuka mata.
“Kau akan melanjutkan kuliahmu di
Jepang?” Tanyaku.
“Eoh!”
“Ujian kelulusan sudah dekat, Myung.
Kita harus lebih sering belajar,”
“Arayo,”
Karena kami adalah siswa super five,
kami harus sering-sering melatih bahasa bahasa inggris kami. Selain ujian di
sekolah kami yang berbasis komputer, khusus siswa super five soal juga berbasis
bahasa inggris. Jadi keduanya harus bisa dikuasai. Apa kalian bisa bayangkan?
Soal matematika yang memakai bahasa inggris, fisika yang memakai bahasa
inggris, dan kimia yang memakai bahasa inggris. Sejauh ini aku tak pernah geser
dari peringkat satu. Eomma dan Jung imo selalu menyemangatiku, aku tak boleh
melepas biasiswa WHS. Ini adalah salah-satu jalan bagiku untuk membebaskan
eomma dan imo dari kemiskinan.
“Sekarang kita berada di akhir bulan
agustus, sebentar lagi kita akan melihat daun maple yang berwarna-warni. Kau
mau ikut denganku, Myung?”
Ia menegakkan badannya kemudian mengepak
tangannya yang tadi ia jadikan tungkahan untuk menahan bobot tubuhnya, “Akhir
bulan gugur nanti aku akan berangkat ke Jepang, Gyu.”
“November?” Tanyaku sambil mendongakkan
kepalaku. Ia menganggukkan kepalanya, “Jadi tahun baru kau ada di Jepang?”
“Begitulah,”
“Eoh! Baik-baik di sana,” ucapku sambil
mempoutkan bibirku.
“Ya! Aku belum berangkat saja kau sudah
sedih. Kau juga harus mengejar cita-citamu,” Myung Soo menyamakan tinggi
badannya denganku, merangkul pundakku kemudian menepuk-nepuknya dengan pelan.
“eum .. bagaimana pun aku sedih, Myung.
Kau adalah satu-satunya temanku,”
“Aku akan sering mengabarimu, tenang
saja. Kau mau masuk Universitas Daekyung?”
“Aku tidak tau. Kalau aku mampu meraih
biasiswa Amerika itu, akan ku usahakan,”
ucapku sambil melemparkan senyum
padanya. Myung Soo melepas rangkulanku, menatap pagar tinggi sekolah kemudian
memberi sebuah isyarat padaku lewat mata elangnya. Aku yang mengerti dengan
isyarat itu hanya memutar bola mataku.
“Tidak untuk saat ini, Myung.”
“Ayolah, Gyu. Hanya lompat pagar biar
kita bebas dari kurungan sekolah,”
“Aish! Memalukan. Kalau kita ketahuan,
kabar ‘siswa super five kabur sekolah loncat pagar’, pasti berita itu langsung
menjadi viral di WHS” ia terkikik geli mendengar penuturanku.
Aku mendirikan badanku, mencangklongkan
tasku, kemudian berjalan menjauhi Myung Soo. “Gyu! Eodiga?” Teriaknya.
“Memberikan permen pada Woo Hyun.” Aku
terus saja berjalan mengabaikan Myung Soo, berharap semoga ia menyusulku. Dan
benar saja, tiba-tiba ia sudah berdiri di sampingku.
“Kau tak bosan melakukan hal sia-sia
ini?” Tanyanya di tengah perjalanan kami menuju area loker siswa.
“Pertanyaan yang sama dengan hari-hari
sebelumnya, aku bosan mendengarnya,”
“Ouh! Baiklah, maafkan aku. Sebaiknya
kita ke perpus atau rooftop dulu, sekarang masih jam pelajaran dan 15 menit
lagi sekolah sudah kosong. Gawat kalau kau ketahuan siswa lain,” Aku
menganggukkan kepalaku kemudian membelokkan langkahku menuju ruangan paling
ujung, perpus.
=====*=====
Aku meletakkan tasku di loker perpus
kemudian mulai mencari novel favoriteku. Myung Soo mengikutiku, kemudian ia
mengambil sebuah novel bersampul putih dan biru. Aku pun mengikutinya,
mengambil novel bersampulkan kuning berdominasikan putih.
Kududukkan badanku di sebuah kursi di
depan Myung Soo. Ku tarik bukunya sedikit, kemudian membolak-balikkannya
sebentar.
“Winter In Seoul.” Gumamku sambil
membaca judul novel yang Myung Soo baca, “Cocok dengan kepribadianmu, Myung.”
Lanjutku lagi. Lihatlah, responnnya hanya sebuah senyuman. “Jangan lagi, Myung.
Aku tak suka Myung Soo yang dingin,”
Ia juga menarik novel yang ada di
tanganku, “Maple Miracle,” ia mengembalikan novelku, kemudian mulai membaca
novel yang tadi sempat ia ambil, “Setelah kau selesai membacanya, kau harus
menceritakannya padaku,”
“Kau juga ..” ucapku. Kami pun mulai berkelana
dengan sebuah cerita fiksi yang bertemakan musim di negara kami. Hingga tak
terasa jam sudah menunjukkan angka 16:00 KST, itu tandanya semua siswa sudah
pulang.
Ku tutup novelku kemudian
mengembalikannya pada kumpulan novel yang tersusun rapi di rak buku. Myung Soo
mengikutiku, sepertinya ia tak lupa dengan jam. Ku ambil tasku yang ada dalam
loker, menunggu Myung Soo sebentar, kemudian mulai melangkahkan kakiku
menelusuri koridor sepi ini. Hanya sebuah gesekan sepatu dan lantai yang
menggema, tak ada suatu suara pun yang menyambut telinga kami. Myung Soo
berjalan di belakangku, menjaga jarak sedikit. Ia tahu setelah ini apa yang
akan ku lakukan.
Ku buku resliting tasku, lalu mengambil
sebuah toples kaca yang sudah ku hias dengan daun maple warna merah kecoklatan.
Setelah itu, ku buku loker Woo Hyun yang tak terkunci. Ku letakkan toples
berisikan permen manis ke dalam loker Woo Hyun. Kemudian menutupnya kembali.
Menutupnya dengan hati-hati untuk menghilangkan jejak.
Myung Soo menyandarkan badannya pada sisi
loker tak jauh dari tempatku berdiri. Ia tersenyum padaku setelah aku selesai
melakukan kegiatan rutinku. Ku tutup kembali tasku, kemudian mulai melangkahkan
kakiku mendekati Myung Soo.
“Selesai,” ucapku.
Ia merangkul bahuku kemudian mulai
menuntunku menuju lantai satu. Ku lihat di sana ada seorang namja berpunggung
tegap, berambut hitam legam. Aku sudah hapal dengan orang yang memilik
ciri-ciri tersebut. Tak lain lagi, itu pasti Woo Hyun.
Myung Soo membuka pintu, kemudian mulai
mengeratkan rangkulannya pada bahuku. Mungkin itu karena keberadaan Woo Hyun.
“Eoh! Kalian, bukannya kalian sudah
pulang tadi? Kenapa masih ada di sini?”
Tak ada jawaban. Myung Soo hanya menatap
Woo Hyun dengan tampang datar tanpa ekspresi, sedangkan aku hanya menundukkan
kepalaku.
“Bukan urusanmu,” singkat Myung Soo.
Ia membantuku menarik langkah beratku
untuk meninggalkan tempat ini. Walaupun berat harus ku paksakan. Saat kami baru
mengambil langkah kami yang ke tiga, tiba-tiba Woo Hyun menahan lengan Myung
Soo. Myung Soo menolehkan kepalanya, lalu menatap tak suka pada tangan Woo Hyun
yang bertenggar indah pada lengannya tanpa permisi.
Myung Soo melepas tangan Woo Hyun dengan
kasar, “Maaf, Gyu. Sepertinya aku tidak bisa mengantarmu. Apa tak apa?” Tanya
Myung Soo sambil melepas rangkulannya pada bahuku.
“Gwenchana. Lagian aku tidak langsung
pulang. Setelah ini ada anak yang ingin les private padaku tak jauh dari sini.
Jadi aku tak apa,” jawabku memberi Myung Soo sedikit penjelasan.
Ku langkahkan kakiku keluar sekolah,
meninggalkan Myung Soo dan Woo Hyun berdua menuju tempat anak yang ingin les
padaku. Hanya melewati beberapa gang dari sekolah sudah sampai. Ku harap Myung
Soo bisa menahan diri untuk saat ini.
Sung Gyu Pov End
=====*=====
“Ada apa denganmu?” Tanya Woo Hyun dengan
ekspresi seperti tengah menahan amarah. Myung Soo berdecak tak suka melihat Woo
Hyun. “Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?” Tanyanya lagi karena tak
mendapat jawaban dari Myung Soo.
Buk!!
Satu pukulan mendarat pada geraham kiri
Woo Hyun membuat Woo Hyun terdorong ke belakang sambil memegangi nyeri
wajahnya. “Ya!” Teriaknya.
“Bwo? Masih tanya dimana letak kesalahan
dirimu?”
Buk!
Lagi, pukulan itu menghantam tulang pipi
Woo Hyun. Lagi-lagi Woo Hyun hanya memegangi tulang pipinya, tak berniat
membalas Myung Soo. Pasalnya ia tidak tahu sebab Myung Soo memukulnya. Kalau ia
membalas maka pertengkaran tanpa alasan yang jelas ini akan semakin menjadi. Ia
tak mau wajah tampannya semakin kotor dengar warna biru dan ungu.
“Aku benci dirimu yang tak peka,” ucap
Myung Soo. Setelah itu Myung Soo melesat begitu saja dari hadapan Woo Hyun.
Woo Hyun menatap punggung Myung Soo yang
semakin menjauh. Raut heran dapat dilihat dengan jelas pada air wajah Woo Hyun.
Apa salahnya? Bukankah ia hanya bertanya? Lalu kenapa Myung Soo langsung
menjawabnya dengan sebuah pukulan. Itu bukanlah jawaban, itu penegasan.
Other_Side
Sung Yeol menyembunyikan badannya tak
jauh dari tempat Woo Hyun berdiri. Sebelumnya ia baru dari toilet dan menyuruh
Woo Hyun menunggunya di pintu masuk (bukan pagar), hanya saja ia harus
memastikan apa yang akan terjadi setelah ini. Setelah hanya ada Myung Soo orang
yang ia cintai diam-diam, dan orang yang pura-pura ia cintai diam-diam berada
dalam satu tempat. Dimana hanya ada mereka berdua. Jadi ia tak berniat untuk
kembali sebelum Myung Soo pergi.
Ia tak akan sanggup menatap mata elang
Myung Soo, sedangkan tangannya berada dalam genggaman hangat Woo Hyun. Siapa
yang menghendaki takdir rumit seperti ini? Hanya eommanya yang terlalu
terobsesi pada dunia. Tak peduli anaknya bahagia atau tidak, yang terpenting
populer dan hidup dengan bergelimang harta. Tak peduli apakah harta itu milik
orang lain atau punya siapa, yang terpenting hidupnya bahagia. Mengorbankan
saudara dan anaknya demi kebahagiaannya sendiri.
“Ada apa denganmu? Apa aku pernah
melakukan kesalahan padamu?” Sung Yeol mendengar Woo Hyun mulai bersuara.
Buk!
Walaupun Sung Yeol tidak bisa melihat
apa yang terjadi karena terhalang dinding yang ia gunakan untuk menyembunyikan
badannya, tapi ia yakin dengan pasti, tak lain itu adalah suara yang dihasilkan
oleh benturan tulang tangan Myung Soo dan tulang geraham Woo Hyun. Myung Soo
memukul Woo Hyun. Ia hanya bisa menutup mulutnya dengan tangannya agar mulutnya
tak berteriak. Sementara itu, mata hazelnya tak terasa sudah mengeluarkan
lelehan lava beningnya. Ia ingin mencegah, tapi apalah daya. Ia akan semakin
memperburuk keadaan jika ia menghampiri Woo Hyun.
‘Apakah
rasanya sesakit ini melihat orang yang kita cintai disakiti oleh orang di depan
kita sendiri?’
“Ya!”
“Bwo? Masih tanya dimana letak kesalahan
dirimu?”
Buk!
Lagi-lagi Sung Yeol mendengar suara
hantaman keras itu. Apa yang terjadi antara dua orang itu, ia tidak tahu sama
sekali. Apakah salah jika ia hanya berdiri mematung seperti sekarang? Haruskan
ia melerai pertengkaran yang bahkan ia tak tahu sebab pertengkaran itu terjadi.
“Aku benci dirimu yang tak peka,”
Setelah itu tak ada lagi suara yang
terdengar di gendang telinganya. Ia mengusap air matanya agar Woo Hyun tak
curiga. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju tempat Woo Hyun yang berdiri
menunggunya sambil memasang senyum manisnya.
Tampak Woo Hyun memegangi gerahamnya
masih menahan sakit akibat pukulan hebat Myung Soo. Sung Yeol segera mengelus
pipi Woo Hyun dengan lembut.
“Ada apa dengan pipimu? Kenapa membiru
seperti ini? Apa kau baik-baik saja?,” Bohongnya dengan membubuhi ekspresi
khawatir pada wajahnya.
“Aku baik-baik saja, tenanglah. Aku
membutuhkan P3K,”
“Sebaiknya kita cepat pulang,” putus
Sung Yeol. Setelah itu, mereka meninggalkan sekolah yang memang tampak sepi
karena jam sudah sore. Menekan pedal gas mobil merahnya, Woo Hyun segera menuju
rumahnya, setelah ia meminta waktu Sung Yeol sedikit untuk membantunya
mengobati luka ringan pada kedua tulang pipinya.
^^^*^^^
Ke esokan harinya seperti biasa. WHS
selalu tampak indah di lihat dari depan. Segar dengan taman yang
mengelilinginya, bersih, dan memang sangat nyaman untuk dijadikan tempat belajar.
Sementara di sisi lain, Sung Gyu dan Myung Soo sepertinya sedang senang.
Terlihat mereka yang tak pernah melepas kedua sudut bibir mereka untuk tetap
terus terangkat membentuk sebuah garis lengkung yang enak dipandang sebagai
pencuci mata.
“Lalu bagaimana?” Tanya Myung Soo.
“Aku memukul cicak itu sampai cicak itu memutuskan
ekornya ... hahaha,”
“Kau sadis, Gyu. Cicak itu hanya
mendarat di atas kepalamu,”
“Biar, siapa suruh jatuh di atas
kepalaku”
Ucapan Sung Gyu mengakhiri beberapa
percakapan yang sempat tercipta diantara mereka berdua.
“Wah wah wah ... sepertinya kalian
berdua lagi senang,” suara Woo Hyun membuat Sung Gyu sedikit terlonjak, tidak
dengan Myung Soo.
Woo Hyun tiba-tiba sudah berdiri di
samping Sung Gyu dengan Sung Yeol di samping Woo Hyun. Mata Sung Gyu terfokus
pada rangkulan tangan Woo Hyun pada pinggang Sung Yeol. Seperti biasa, Myung
Soo menatap Woo Hyun dengan tampang benci tanpa alasannya.
“Apa pukulanku kemarin masih kurang,
ANAK EMAS WHS.” Ucap Myung Soo sambil menekankan kalimat terakhirnya. Sung Gyu
mendongakkan kepalanya menatap Myung Soo, seakan-akan mata sipit itu meminta
penjelasan dari ucapannya barusan.
“Kita berangkat saja Yeol. Dua orang
bodoh. Yahh ... memang sangat cocok,” cibir Woo Hyun sambil berlalu dengan
tampang angkuhnya seperti biasa. Membuat Myung Soo semakin mengepalkan
tangannya siap untuk memberikan pukulan lagi pada namja bermarga Nam itu.
“Siapa yang bodoh! Sung Gyu tak pernah
geser dari peringkat satu! Asal kau tahu itu, Tuan Nam JELEK!!” Teriak Myung
Soo. Sedangkan Woo Hyun sudah berada jauh di depan sana menghiraukan ucapan
menjenggelkan Myung Soo.
Sung Gyu menggeleng-gelengkan kepalanya
melihat tingkah Myung Soo. Sejak kapan ia peduli dengan ucapan orang lain?
“Aku membutuhkan penjelasnmu, Tuan Kim.”
“Bwo?”
“Kau memukulnya?”
Diam. Myung Soo tidak menjawab, “Apa
yang membuatmu sangat membencinya, Myung?”
“..........”
“Apakah karena aku?”
“..............”
“Apakah karena aku?” Tanya Sung Gyu lagi
merasa tak ada jawaban.
“Jawab, Kim Myung Soo!”
“...............”
“Baiklah. Diam, berarti ‘iya’”
“Iya. Aku memang memukulnya. Kenapa? Kau
akan memarahiku? Iya?”
“............” kini Sung Gyu diam. Apa
yang harus ia katakan? Haruskah ia memarahi Myung Soo. Seperti hari-hari
sebelumnya saat Myung Soo selalu bersikap acuh pada Woo Hyun?
“Kau saja tak tahu, Gyu. Aku sakit saat
melihat sahabatku menangis hanya karena laki-laki brengs*k seperti Woo Hyun.”
“.............”
Myung Soo memegang kedua pundah Sung Gyu
kemudian berbisik pelan di depan wajah Sung Gyu. “Maafkan aku, aku tidak bisa
sesabar dirimu,”
“Kenapa kau meminta maaf padaku?”
Myung Soo melepas tangannya dari kedua
pundak Sung Gyu. “Hhmm.. hanya merasa bersalah,”
“Merasa bersalah?” Tanya Sung Gyu sambil
menaikkan satu alisnya.
“.............” Myung Soo menggaruk
tengkuknya.
“Seharusnya kau minta maaf pada Woo
Hyun, bukan padaku,”
“Aku tidak mau,”
“Kau harus mau,”
“Tidak ...”
“...............”
Bukannya meladeni perdebatan kecilnya
dengan Myung Soo, Sung Gyu malah meninggalkan Myung Soo. Berjalan mendahului
Myung Soo.
“Gyu, eodiga?”
“Ikut aku ke belakang sekolah. Sebelum
itu ambil buku di perpus, setelah itu kita ke tempat yang kemarin. Menunggu jam
pulang sekolah, memberi permen, kemudian pulang. Persis seperti yang kemarin,”
“Sejak kapan Kim Sung Gyu berani bolos
eoh!?”
“Sejak Kim Sung Gyu bersahabat dengan
Kim Myung Soo.” Myung Soo terkekeh mendengar jawaban santai Sung Gyu.
“Ya! Tunggu aku!” Myung Soo mulai
mengejar Sung Gyu yang tak jauh dari tempatnya berdiri, kemudian menyamakan
langkahnya bersama Sung Gyu.
^^^^^*^^^^^
Seperti yang Sung Gyu katakan, mereka
pergi ke perpus kemudian menuju taman belakang sekolah. Menghabiskan waktu
dengan membaca buku di bawah pohon rindang sambil menikmati hempasan halus
angin pada kulit masing-masing. Hanya suara gerakan-gerakan halus dahan dan
ranting yang menyentuh indra pendengaran Myung Soo dan Sung Gyu.
Menghabiskan dengan membaca, menambah
pengetahuan mereka tentang musim kesukaan masing-masing. Myung Soo si penyuka
musim dingin, sedangkan Sung Gyu musim gugur. Keduanya tentu mempunyai alasan
tersendiri untuk menetapkan musim favorite.
Myung Soo si Winter. Sesuai dengan
kepribadiannya yang dingin. Hari pertama salju turun adalah waktu yang paling
tepat untuk berdoa. Seperti 3 tahun lalu. Waktu hari pertama hujan salju, ia
berdoa agar mempunyai seseorang yang peduli padanya, walaupun itu bukan
seseorang yang ada diantara keluarganya. Dan terkabul. Tak lama setelah itu,
setelah musim salju berganti dengan musim semi, seorang namja imut bermata
sipit datang padanya. Bersikap manis seolah namja sipit itu tidak mempunyai
beban hidup sama sekali. Mungkin itu adalah salah satu alasannya sangat
menyukai musim salju.
Kring!!
Myung Soo menepuk punggung Sung Gyu
membuat Sung Gyu sedikit terlonjak. Mungkin terlalu fokus dengan bacaannya,
pikir Myung Soo.
“Bel pulang sudah berbunyi. Kita
sebaiknya mengembalikan novel ini ke perpus. Setelah itu seperti biasa ...”
“Memberikan permen pada Woo Hyun,”
lanjut Sung Gyu dengan raut bahagianya.
Myung Soo hanya bisa menampakka senyum
tipisnya pada Sung Gyu. Senangnya hanya kqrena ia bisa melihat senyum Sung Gyu.
Mirisnya karena sahabat yang sangat ia sayang ini melakukan hal manis secara
rutin yang bahkan bisa-bisa berubah menjadi sebuah hal menyakitkan. Entah
bagaimana nantinya takdir berjalan, Myung Soo hanya takut Sung Gyu tersakiti
lebih daripada tak dianggap. Lebih daripada sekarang.
Mereka pun kembali ke perpus, hanya
untuk mengembalikan novel. Setelah itu mereka menyusuri koridor sekolah,
melangkahkan kaki menuju tempat loker Woo Hyun berada.
“Gyu, maaf aku tak bisa ikut denganmu.
Kau duluanlah, aku ke toilet sebentar. Nanti kau tunggu aku di depan eoh!
Jangan kemana-mana, aku akan mengantarmu,” ucap Myung Soo sambil tengah menahan
sesuatu.
Sung Gyu mengangguk kemudian melanjutkan
langkahnya. Berharap seperti hari-hari sebelumnya. Memberikan permen tanpa
susah. Bila pagi sudah tidak ada jejak. Mungkin Woo Hyun benar-benar
mengambilnya. Sung Gyu berteriak senang dalam hati. Mungkin saja Woo Hyun
memakannya.
Clek!
Sung Gyu membuka loker Woo Hyun. Dan ...
Dassshh!!
Setumpuk permen dengan jumlah yang tidak
bisa dikatakan sedikit meluap dari dalam loker Woo Hyun hingga tercecer ke
lantai. Sung Gyu menatap nanar permen-permen itu. Itu adalah permen yang ia
berikan pada Woo Hyun selama satu tahun ketiganya di WHS. Otot yang tersimpan
dalam tubuhnya tak bisa menahan bobotnya. Kakinya bergetar, matanya sudah tak
mampu menampung genangan air mata yang sedari tadi ingin keluar dari tempatnya.
Sung Gyu menyentuh permen-permen yang
masih layak makan itu. Perkiraannya salah, rupanya Woo Hyun hanya menumpuknya
di suatu tempat namun tidak memakannya barang sebiji pun. Lalu apa maksud semua
ini?
“Kim Sung Gyu ...”
Sebuah suara di belakang Sung Gyu
mengalihkan perhatiannya dari permen-permen itu. Woo Hyun, orang yang ada di
belakangnya sekarang. Sung Gyu mendirikan badannya, mengusap kasar air matanya.
Menatap mata kelam Woo Hyun dengan tampang polos seolah-olah tak terjadi apapun
pada hatinya.
“Woo- Woo Hyun-ah ...”
“Jadi kau orangnya?”
“Woo Hyun-ah ...”
Woo Hyun melangkah menuju tempat Sung
Gyu berdiri, lalu mengambil toples permen yang ada di genggaman tangan Sung
Gyu. Sesaat Sung Gyu tersenyum, mengira Woo Hyun akan mengambilnya dan
memakannya kemudian mengucapkan kata ‘terimakasih’. Tapi ...
Prangg!!
Woo Hyun membanting toples kaca itu
hingga pecah. Sung Gyu melihat betapa kerasnya Woo Hyun membanting toples itu.
Tapi dia hanya bisa diam. Menatap pecahan-pecahan kaca dan permen yang
berserakan dimana-mana. Ingat ketika malam ia selalu tidur tengah malam hanya
untuk menghias toples dengan daun-daun kering yang menjadi favoritenya.
Menempelkannya sebagai penghias toples kosong yang berisikan permen.
‘Myung
Soo-ya .. kau kemana? Sepertinya sekarang aku membutuhkanmu. Bantu aku Myung
Soo-ya’
“Kenapa kau melakukannya!” Bentak Woo
Hyun. Sung Gyu tergagap mendengar pertanyaan Woo Hyun. Apa? Dia harus menjawab
apa?
“..............” tak ada jawaban. Sung
Gyu hanya bisa menundukkan pandangannya menghindari pandangan Woo Hyun.
Woo Hyun mendorong bahu Sung Gyu hingga
Sung Gyu sedikit terdorong ke belakang. Lelehan air mata yang sengaja ia tutupi
dari Woo Hyun kini sudah merembas membasaha pipi mulusnya.
“Jawab aku ...”
“............. aku mencintaimu ..” ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Sung Gyu.
Sung Gyu menggigit bibirnya berusaha menghilangkan rasa sakit yang mendera dada
sebelah kirinya. Ia bisa menebak reaksi Woo Hyun setelah ini ...
“Tidak! Kau tak boleh
mencintaiku!” Bentak Woo Hyun lagi sukses membuat Sung Gyu mendongakkan kepalanya
melihat dua bola mata kelam Woo Hyun. Mata yang memancarkan kebencian akan
dirinya.
“Tapi Woo Hyun-ah, aku
tidak menyuruhmu membalasku,” air mata itu terus saja meluncur dari mata sipit
Sung Gyu. Menghiraukan malunya ia seperti seorang pengemis cinta pada seorang
chaebol angkuh.
“Stop!! Jangan kau
sebut namaku dengan bibir menjijikkanmu itu!” Ucapan pedas nan menusuk itu
langsung tertuju pada hati rapuh Sung Gyu. Ditambah Woo Hyun mengucapkan hal
tersebut sambil menodongkan telunjuknya di depan mata Sung Gyu.
“Tapi aku hanya
mencintaimu, aku tidak menyuruhmu membalasku eoh ...”
“Aku
tidak mau dicintai oleh orang sepertimu!” Nada suaranya tidak turun, tetap
sebuah bentakan yang terdengar ditelinga Sung Gyu.
“Kenapa?”
Tanya Sung Gyu dengan nada berbisik.
“Karena
kau terlalu menjijikkan untuk menjadi orang yang mencintaiku!”
“Tapi
aku mencintaimu .."
“Persetan
dengan cinta, kau terlalu menjijikkan!”
Woo
Hyun hendak membalikkan badannya, namun sebuah tangan bergetar menahannya
membuat Woo Hyun kembali menarik badannya. Tatapan jijik dan benci Woo Hyun
lemparkan pada Sung Gyu.
‘Sebenci itu kah kau padaku?’
“Ku
mohon, aku hanya mencintaimu ....” ucap Sung Gyu lirih sambil memegang tangan
Woo Hyun. Tatapannya tak pernah lepas dari mata Woo Hyun.
“...
kau tidak perlu membalasku. Kita bisa tetap seperti bia- ....”
Ucapan
Sung Gyu terputus dengan hempasan kasar tangan Woo Hyun. Woo Hyun menarik
tangannya menjauh dari Sung Gyu. Mengambil sapu tangan yang ada di saku seragam
almamaternya, kemudian mengelapnya dan memasukkan tangannya ke dalam saku
celana seragamnya, menghindari sentuhan dengan rakyat jelata.
‘Semenjijikkan itu kah ...’
“Dengar,
Kim Sung Gyu-ssi. Maafkan aku tadi membentakmu. Mumpung aku lagi baik hati, aku
ingin mengingatkan. Ingat dirimu eoh! Siapa dirimu dan siapa diriku? Aku Nam
Woo Hyun dan kau ...”
Dapat
Sung Gyu lihat dari pancaran mata Woo Hyun. Tatapan menjijikkan itu sangat
jelas. Nada cibiran dan ucapan lembut tapi bermakna tajam. Sung Gyu rasakan
saat ini ...
Woo
Hyun merdecak sebelum melanjutkan ucapannya, “Kau menjauhlah dariku, sebelum
aku menyuruh kepala sekolah mencabut beasiswamu,”
Mata
Sung Gyu membulat. Ini masalah hati dan mimpi. Suatu permasalah yang sangat
berbeda. Keduanya sama-sama perihal penting dalam hidupnya. Mimpinya untuk
mengubah kasta keluarganya sadangkan hatinya menginginkan untuk terus mencintai
Woo Hyun.
Lama
keduanya terdiam. Woo Hyun menunggu dan Sung Gyu berpikir keras untuk mengambil
keputusan hingga air matanya kering tinggal bekas lembab di sekitar pipinya.
“Aku
memilih keduanya ..” ucap Sung Gyu pada akhirnya, “Beasiswa dan hatiku.
Beasiswa adalah peganganku untuk masa depan. Sedangkan hati ini apa? Aku juga
tidak mau mencintaimu ...”
Woo
Hyun terdiam. Apa maksud ucapan Sung Gyu? Bukankah Sung Gyu mencintaiya sejak awal
masuk WHS? Kenapa Sung Gyu bisa berubah secepat ini?
“Hatiku
yang memilih. Kau pikir aku senang mencintaimu? Tidak! Tidak, Nam Woo Hyun! Aku
terus merasa sakit. Kau tidak pernah merasakan apa yang ku rasakan! Seberapa
kejam cinta itu menyerangku selama tiga tahun. Kau tidak tahu betapa beratnya
hariku ketika setiap hari aku harus melihatmu bermesraan dengan Sung Yeol.
Lihat! Apa aku pernah mengganggu kalian berdua? Apa aku pernah menampakkan
kesedihanku padamu? Tidak! Kau pikir aku ingin mempunyai perasaan ini eoh! Hiks
... hiks ..” tangisan kedua Sung Gyu pecah di hadapan Woo Hyun.
Lagi-lagi
Woo Hyun terdiam. Apakah rasanya benar-benar sakit? Dan tangisan Sung Gyu di
hadapanya ini, benar-benar mengandung haru. Ada apa dengannya? Kenapa ia harus
peduli?
“Aku
tidak peduli! Rasakan sendiri perasaan itu ...”
“Hiks
... hiks ... setidaknya biarkan aku mencintaimu sampai daun maple berjatuhan di
jalanan Seoul ...”
“Terserah!
... kau tau ... sifatmu yang sekarang ini benar-benar terlihat seperti seorang
rakyat jelata yang sedang mengemis cinta ... benar-benar menjijikkan,”
itu
adalah ucapan terakhir Woo Hyun, sebelum Woo Hyun meninggakan Sung Gyu
sendirian di koridor dengan permen-permen yang berceceran. Tangisannya
benar-benar tidak bisa ia tahan. Sakit ...
‘sifatmu yang sekarang ini
benar-benar terlihat seperti seorang rakyat jelata yang sedang mengemis cinta
... benar-benar menjijikkan’
Kata
itu terus terngiang dalam benak Sung Gyu. Tangisannya semakin menjadi. Benar,
hatinya memang sudah rusak, mungkin. Sampai-sampai hatinya harus mengarahkan
matanya pada laki-laki seperti Nam Woo Hyun. Apakah rasa sakit ini merupakan
rasa yang paling sakit? Atau sakit yang lebih masih menunggu untuk mendera ulu
hati Sung Gyu?
‘Pada dasarnya cinta itu kejam dan
tidak tahu sopan santun. Mereka hadir dalam hati mnusia tanpa pamit pada sang
pemilik hati terlebih dahulu. Tumbuh pun tanpa pamit. Benar-benar tidak tahu
sopan santun.”
TBC