Minggu, 23 April 2017

ff WooGyu WIWAM (Whether It Was A Mistake?) Chapter 2


Tittle : WIWAM (Whether It Was A Mistake?) Chapter 2
Author: Kim Hye Jin_MRS
Main cast : WooGyu (Woo Hyun X Sung Gyu)
Support cast : Infinite member, muncul sesuai dengan kebutuhan(?)
Genre : Sad, school life, family, friendship dll(?)
Rated : untuk semua anak woogyu yang bertebaran di dunia
Length : Chapter 2 of...?
Summary : “Siapa yang harus ku salahkan. Apakah cinta yang ada dalam hatiku, ataukah aku yang memang salah mencintaimu?”
WARNING : pemakaian EYD tidak ada yang benar, bahasanya asal-asalan, bertele-tele, typo bertebaran. Jelek? Harap di maklumin karena saya masih belajar untuk jadi Author yang baik.
NOTE : FF ini benar-benar berasal dari otak+pemikiran Author yang terbatas. Jadi, kalau ada kalimat yang sama dengan FF yang lain berarti itu murni ketidak sengajaan.
 (~0~ Happy Reading  ~0~)
Sebelumnya dichapter 1
‘Sahabat adalah keluarga keduaku setelah eomma dan imo. Selalu menyediakan pundaknya ketika ku butuh.’
Chapter 2
Seperti yang dikatakan Myung Soo tadi, kami kembali ke kelas. Saat kami sampai di kelas ternyata tak ada guru yang mengajar. Sebenarnya kami sudah biasa untuk kelas tanpa guru dan belajar mandiri, tapi aku yang selalu tak kuat dengan keadaan. Kalau tak ada guru, kemesraan Woo Hyun dan Sung Yeol semakin menjadi. Aku tahu, hari ini pasti akan seperti hari-hari sebelumnya. Sakit dan sakit lagi.
Aku dan Myung Soo terdiam diambang pintu melihat Woo Hyun dan Sung Yeol yang tampak mesra seperti biasa. Myung Soo menggenggam tanganku kemudian menyeret langlahku menuju bangku. Aku menunduk dalam sambil mengikuti langkah Myung Soo.
“MyungGyu cuople! Lihat Key, apa kau tak berniat mencari namja chingu? Semua siswa super five sudah mempunyai namja chingu. Sekarang tinggal kau,” itu segenap suara Woo Hyun yang aku dengar saat tak sengaja ia melihatku dan Myung Soo masuk kelas dengan berpegangan tangan.
Lagi-lagi hatiku terenyuh, kali ini karena ucapan Woo Hyun, tadi karena sikapnya. Mungkin suatu saat nanti ucapan dan sikapnya yang akan menyakitiku secara bersamaan. Aku tak mencintai Myung Soo, Woo Hyun-ah, asal kau tahu itu! Seandainya bibirku ini mampu mengucapkan hal itu, sudah dari hari-hari lalu aku katakan. Tapi bibirku selalu keluh untuk mengucapkan hal itu. Di sisi lain aku tidak tahan karena aku selalu tersakiti akibat ulahku sendiri yang tak bisa mengungkapkan pada Woo Hyun. Tapi di sisi lain aku merasa menjadi pihak ketiga antara Woo Hyun dan Sung Yeol. Demi sepupu yang tak pernah menganggapku, mungkin aku harus mengalah dan menyembunyikan perasaan besarku pada Woo Hyun dalam lubang hatiku yang kecil.
Aku berniat melepas tangan Myung Soo tapi Myung Soo semakin mengeratkan genggamannya, tak ingin melepas tanganku. Ia mendudukkanku di kursi kemudian ia mengambil tasnya dengan tasku dan mencangklongkan pada bahunya.
“Tak ada guru, kita pulang saja, Gyu.” Singkatnya.
Ku lihat Woo Hyun berdiri dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju tempat dudukku, sedangkan Sung Yeol seperti biasa, tampak ramah dengan senyumannya padaku. Hanya appa dan eomma Sung Yeol yang tak mengakuiku, Sung Yeol tetap seperti biasa padaku. Perebutan harta warisan memang sangat berpengaruh. Sudahlah, itu urusan orang tuaku.
“Sekarang memang tak ada guru yang mengajar, tapi kita ada tugas di LAB”
“Cih! Aku tak peduli,” ucap Myung Soo datar.
Ia segera menarik tanganku melewati Woo Hyun yang tampak semakin tak suka padaku. Aku tak bisa melawan kalau Myung Soo sudah berada diambang kemarahan seperti ini, aku hanya bisa mengikuti langkah kakinya membawaku kemana saja atas kemauannya.
=====*=====
“Kau benar-benar licik, Myung.” Ucapku sambil menahan tawa. Di sinilah kami sekarang, taman belakang sekolah. Aku hanya manatap jengkel pada Myung Soo. Bisa-bisanya dia bilang akan pulang tapi nyatanya ia hanya membawaku keluar dari super five.
“Hahahaha ... aku hanya tak ingin kau melihat Woo Hyun.”
“Pantas saja kau bisa masuk kelas super five. Kau tak hanya pintar, tapi kau juga licik. Ck!”
Decakanku hanya dijawab tawa olehnya. Benar-benar menyebalkan. Walaupun demikian, aku tetap senang memiliki sahabat sepertinya. Aku tahu dia tak hanya simpati padaku, dia sudah empati. Persahabatan kami yang sudah hampir tiga tahun benar-benar memiliki sejarah yang indah untuk dikenang. Tak seperti cintaku. Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya. Myung Soo akan marah lagi kalau ia melihatku sedih karena Nam Woo Hyun.
Dari pada kami duduk di bangku taman yang memang sudah disediakan oleh pihak sekolah, kami memilih untuk duduk di rumput hijau dibawah pohon yang rindang. Memandangi hamparan ilalang yang tampak meliuk-liukkan badannya karena sentuhan lembut yang angin ciptakan.
Ku tolehkan kepalaku ke samping. Myung Soo memejamkan matanya sambil menikmati suara angin yang berdesir lembut di telinganya. Lalu ku luruskan lagi pandanganku ke depan.
“Gyu ...” serunya.
“Eum ...” jawabku masih tak mengalihkan perhatianku sambil memejamkan mata mengikuti Myung Soo.
“Kau itu seperti ilalang,”
“He!? Maksudmu,” Aku membuka mataku kemudian menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya, menunggu jawaban dari ucapannya. Ia membuka matanya kemudian menatap ilalang yang tampak merunduk, mengacung ke atas, dan ada pula yang mati.
“Kau dan Woo Hyun. Kalian tampak seperti ilalang dan angin,” ia menolehkan kepalanya padaku sambil tersenyum hingga lesung pipinya terlihat, lalu kembali menarik pandangannya ke depan.
“Ilalang adalah rumput liar yang kokoh dan kuat. Ia bisa bertahan hidup di tanah yang gersang tanpa membutuhkan tumbuhan lain. Ilalang adalah rumput liar yang selalu merindukan angin. Ia terus berdiri dengan tegak menunggu angin untuk menyapanya. Tapi ketika angin datang dan berhembus kencang hingga ilalang meliuk-liukkan tubuhnya dan merundukkan bunganya, ia tetap kokoh dan menginginkan angin untuk kembali menyapanya suatu saat nanti. Ia setia pada angin. Ketika angin pergi meninggalkannya lagi, ilalang hanya menatap kepergian angin dengan pasrah. Mengagumi dari jarak jauh dan menerima lapang dada jika sewaktu-waktu angin membuatnya merunduk lagi,”
Aku tercengang mendengar penuturan Myung Soo. Ia menarik napas sebentar kemudian menatapku, “Kau, Kim Sung Gyu. Remaja yang pindah ke Seoul demi mewujudkan mimpinya. Mencintai seorang Nam Woo Hyun yang jelas-jelas tak pernah melihatnya. Walaupun Kim Sung Gyu tahu Nam Woo Hyun hanya bisa menyakitinya, tapi Kim Sung Gyu tetap mencintai Nam Woo Hyun dan menunggu Nam Woo Hyun untuk membalas cintanya. Kim Sung Gyu adalah orang yang hanya bisa melihat Nam Woo Hyun bermesraan dengan sepupunya sendiri di depan matanya. Walaupun Kim Sung Gyu tahu bahwa itu menyakitkan, tapi ia tak bisa berhenti berharap bahwa suatu hari nanti Nam Woo Hyun pasti akan membalas cintanya,” lanjutnya panjang lebar. Aku tersenyum. Iya benar, aku tersenyum dengan manis pada Myung Soo. Tapi Myung Soo yang menitikkan air matanya. Aku mendekatkan badanku padanya, kemudian mngulurkan tanganku untuk mengusap air matanya.
“Kenapa kau menangis eoh!”
“..... apa kau tak merasa sakit saat aku menceritakan tentang hidupmu, Gyu?” Aku menggelengkan kepalaku, “Tak ada yang patut untuk ditangisi, Myung. Aku berjuang. Jadi aku benar-benar harus kuat seperti ilalang,”
“Lalu kenapa di perpus tadi kau nangis?”
“Tangisan ditumpahkan kalau hati sudah tak tau apa yang harus di katakan, itu adalah isyarat mata,” ucapku mengakhiri percakapan kami.
Aku kembali menarik badanku dan menatap hamparan ilalang yang tampak meliuk-liukkan badannya, Myung Soo mengikutiku. Ia kembali pada posisi awalnya.
Lama kami terjebak dalam keheningan, hingga Myung Soo memecah kembali keheningan yang sempat terjadi, “Aku ingin melihat Kim Sung Gyu sukses,” gumamnya lirih membuatku lagi-lagi membuka mata.
“Kau akan melanjutkan kuliahmu di Jepang?” Tanyaku.
“Eoh!”
“Ujian kelulusan sudah dekat, Myung. Kita harus lebih sering belajar,”
“Arayo,”
Karena kami adalah siswa super five, kami harus sering-sering melatih bahasa bahasa inggris kami. Selain ujian di sekolah kami yang berbasis komputer, khusus siswa super five soal juga berbasis bahasa inggris. Jadi keduanya harus bisa dikuasai. Apa kalian bisa bayangkan? Soal matematika yang memakai bahasa inggris, fisika yang memakai bahasa inggris, dan kimia yang memakai bahasa inggris. Sejauh ini aku tak pernah geser dari peringkat satu. Eomma dan Jung imo selalu menyemangatiku, aku tak boleh melepas biasiswa WHS. Ini adalah salah-satu jalan bagiku untuk membebaskan eomma dan imo dari kemiskinan.
“Sekarang kita berada di akhir bulan agustus, sebentar lagi kita akan melihat daun maple yang berwarna-warni. Kau mau ikut denganku, Myung?”
Ia menegakkan badannya kemudian mengepak tangannya yang tadi ia jadikan tungkahan untuk menahan bobot tubuhnya, “Akhir bulan gugur nanti aku akan berangkat ke Jepang, Gyu.”
“November?” Tanyaku sambil mendongakkan kepalaku. Ia menganggukkan kepalanya, “Jadi tahun baru kau ada di Jepang?”
“Begitulah,”
“Eoh! Baik-baik di sana,” ucapku sambil mempoutkan bibirku.
“Ya! Aku belum berangkat saja kau sudah sedih. Kau juga harus mengejar cita-citamu,” Myung Soo menyamakan tinggi badannya denganku, merangkul pundakku kemudian menepuk-nepuknya dengan pelan.
“eum .. bagaimana pun aku sedih, Myung. Kau adalah satu-satunya temanku,”
“Aku akan sering mengabarimu, tenang saja. Kau mau masuk Universitas Daekyung?”
“Aku tidak tau. Kalau aku mampu meraih biasiswa Amerika itu, akan ku usahakan,”
ucapku sambil melemparkan senyum padanya. Myung Soo melepas rangkulanku, menatap pagar tinggi sekolah kemudian memberi sebuah isyarat padaku lewat mata elangnya. Aku yang mengerti dengan isyarat itu hanya memutar bola mataku.
“Tidak untuk saat ini, Myung.”
“Ayolah, Gyu. Hanya lompat pagar biar kita bebas dari kurungan sekolah,”
“Aish! Memalukan. Kalau kita ketahuan, kabar ‘siswa super five kabur sekolah loncat pagar’, pasti berita itu langsung menjadi viral di WHS” ia terkikik geli mendengar penuturanku.
Aku mendirikan badanku, mencangklongkan tasku, kemudian berjalan menjauhi Myung Soo. “Gyu! Eodiga?” Teriaknya.
“Memberikan permen pada Woo Hyun.” Aku terus saja berjalan mengabaikan Myung Soo, berharap semoga ia menyusulku. Dan benar saja, tiba-tiba ia sudah berdiri di sampingku.
“Kau tak bosan melakukan hal sia-sia ini?” Tanyanya di tengah perjalanan kami menuju area loker siswa.
“Pertanyaan yang sama dengan hari-hari sebelumnya, aku bosan mendengarnya,”
“Ouh! Baiklah, maafkan aku. Sebaiknya kita ke perpus atau rooftop dulu, sekarang masih jam pelajaran dan 15 menit lagi sekolah sudah kosong. Gawat kalau kau ketahuan siswa lain,” Aku menganggukkan kepalaku kemudian membelokkan langkahku menuju ruangan paling ujung, perpus.
=====*=====
Aku meletakkan tasku di loker perpus kemudian mulai mencari novel favoriteku. Myung Soo mengikutiku, kemudian ia mengambil sebuah novel bersampul putih dan biru. Aku pun mengikutinya, mengambil novel bersampulkan kuning berdominasikan putih.
Kududukkan badanku di sebuah kursi di depan Myung Soo. Ku tarik bukunya sedikit, kemudian membolak-balikkannya sebentar.
“Winter In Seoul.” Gumamku sambil membaca judul novel yang Myung Soo baca, “Cocok dengan kepribadianmu, Myung.” Lanjutku lagi. Lihatlah, responnnya hanya sebuah senyuman. “Jangan lagi, Myung. Aku tak suka Myung Soo yang dingin,”
Ia juga menarik novel yang ada di tanganku, “Maple Miracle,” ia mengembalikan novelku, kemudian mulai membaca novel yang tadi sempat ia ambil, “Setelah kau selesai membacanya, kau harus menceritakannya padaku,”
“Kau juga ..” ucapku. Kami pun mulai berkelana dengan sebuah cerita fiksi yang bertemakan musim di negara kami. Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan angka 16:00 KST, itu tandanya semua siswa sudah pulang.
Ku tutup novelku kemudian mengembalikannya pada kumpulan novel yang tersusun rapi di rak buku. Myung Soo mengikutiku, sepertinya ia tak lupa dengan jam. Ku ambil tasku yang ada dalam loker, menunggu Myung Soo sebentar, kemudian mulai melangkahkan kakiku menelusuri koridor sepi ini. Hanya sebuah gesekan sepatu dan lantai yang menggema, tak ada suatu suara pun yang menyambut telinga kami. Myung Soo berjalan di belakangku, menjaga jarak sedikit. Ia tahu setelah ini apa yang akan ku lakukan.
Ku buku resliting tasku, lalu mengambil sebuah toples kaca yang sudah ku hias dengan daun maple warna merah kecoklatan. Setelah itu, ku buku loker Woo Hyun yang tak terkunci. Ku letakkan toples berisikan permen manis ke dalam loker Woo Hyun. Kemudian menutupnya kembali. Menutupnya dengan hati-hati untuk menghilangkan jejak.
Myung Soo menyandarkan badannya pada sisi loker tak jauh dari tempatku berdiri. Ia tersenyum padaku setelah aku selesai melakukan kegiatan rutinku. Ku tutup kembali tasku, kemudian mulai melangkahkan kakiku mendekati Myung Soo.
“Selesai,” ucapku.
Ia merangkul bahuku kemudian mulai menuntunku menuju lantai satu. Ku lihat di sana ada seorang namja berpunggung tegap, berambut hitam legam. Aku sudah hapal dengan orang yang memilik ciri-ciri tersebut. Tak lain lagi, itu pasti Woo Hyun.
Myung Soo membuka pintu, kemudian mulai mengeratkan rangkulannya pada bahuku. Mungkin itu karena keberadaan Woo Hyun.
“Eoh! Kalian, bukannya kalian sudah pulang tadi? Kenapa masih ada di sini?”
Tak ada jawaban. Myung Soo hanya menatap Woo Hyun dengan tampang datar tanpa ekspresi, sedangkan aku hanya menundukkan kepalaku.
“Bukan urusanmu,” singkat Myung Soo.
Ia membantuku menarik langkah beratku untuk meninggalkan tempat ini. Walaupun berat harus ku paksakan. Saat kami baru mengambil langkah kami yang ke tiga, tiba-tiba Woo Hyun menahan lengan Myung Soo. Myung Soo menolehkan kepalanya, lalu menatap tak suka pada tangan Woo Hyun yang bertenggar indah pada lengannya tanpa permisi.
Myung Soo melepas tangan Woo Hyun dengan kasar, “Maaf, Gyu. Sepertinya aku tidak bisa mengantarmu. Apa tak apa?” Tanya Myung Soo sambil melepas rangkulannya pada bahuku.
“Gwenchana. Lagian aku tidak langsung pulang. Setelah ini ada anak yang ingin les private padaku tak jauh dari sini. Jadi aku tak apa,” jawabku memberi Myung Soo sedikit penjelasan.
Ku langkahkan kakiku keluar sekolah, meninggalkan Myung Soo dan Woo Hyun berdua menuju tempat anak yang ingin les padaku. Hanya melewati beberapa gang dari sekolah sudah sampai. Ku harap Myung Soo bisa menahan diri untuk saat ini.
Sung Gyu Pov End
=====*=====
“Ada apa denganmu?” Tanya Woo Hyun dengan ekspresi seperti tengah menahan amarah. Myung Soo berdecak tak suka melihat Woo Hyun. “Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?” Tanyanya lagi karena tak mendapat jawaban dari Myung Soo.
Buk!!
Satu pukulan mendarat pada geraham kiri Woo Hyun membuat Woo Hyun terdorong ke belakang sambil memegangi nyeri wajahnya. “Ya!” Teriaknya.
“Bwo? Masih tanya dimana letak kesalahan dirimu?”
Buk!
Lagi, pukulan itu menghantam tulang pipi Woo Hyun. Lagi-lagi Woo Hyun hanya memegangi tulang pipinya, tak berniat membalas Myung Soo. Pasalnya ia tidak tahu sebab Myung Soo memukulnya. Kalau ia membalas maka pertengkaran tanpa alasan yang jelas ini akan semakin menjadi. Ia tak mau wajah tampannya semakin kotor dengar warna biru dan ungu.
“Aku benci dirimu yang tak peka,” ucap Myung Soo. Setelah itu Myung Soo melesat begitu saja dari hadapan Woo Hyun.
Woo Hyun menatap punggung Myung Soo yang semakin menjauh. Raut heran dapat dilihat dengan jelas pada air wajah Woo Hyun. Apa salahnya? Bukankah ia hanya bertanya? Lalu kenapa Myung Soo langsung menjawabnya dengan sebuah pukulan. Itu bukanlah jawaban, itu penegasan.
Other_Side
Sung Yeol menyembunyikan badannya tak jauh dari tempat Woo Hyun berdiri. Sebelumnya ia baru dari toilet dan menyuruh Woo Hyun menunggunya di pintu masuk (bukan pagar), hanya saja ia harus memastikan apa yang akan terjadi setelah ini. Setelah hanya ada Myung Soo orang yang ia cintai diam-diam, dan orang yang pura-pura ia cintai diam-diam berada dalam satu tempat. Dimana hanya ada mereka berdua. Jadi ia tak berniat untuk kembali sebelum Myung Soo pergi.
Ia tak akan sanggup menatap mata elang Myung Soo, sedangkan tangannya berada dalam genggaman hangat Woo Hyun. Siapa yang menghendaki takdir rumit seperti ini? Hanya eommanya yang terlalu terobsesi pada dunia. Tak peduli anaknya bahagia atau tidak, yang terpenting populer dan hidup dengan bergelimang harta. Tak peduli apakah harta itu milik orang lain atau punya siapa, yang terpenting hidupnya bahagia. Mengorbankan saudara dan anaknya demi kebahagiaannya sendiri.
“Ada apa denganmu? Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?” Sung Yeol mendengar Woo Hyun mulai bersuara.
Buk!
Walaupun Sung Yeol tidak bisa melihat apa yang terjadi karena terhalang dinding yang ia gunakan untuk menyembunyikan badannya, tapi ia yakin dengan pasti, tak lain itu adalah suara yang dihasilkan oleh benturan tulang tangan Myung Soo dan tulang geraham Woo Hyun. Myung Soo memukul Woo Hyun. Ia hanya bisa menutup mulutnya dengan tangannya agar mulutnya tak berteriak. Sementara itu, mata hazelnya tak terasa sudah mengeluarkan lelehan lava beningnya. Ia ingin mencegah, tapi apalah daya. Ia akan semakin memperburuk keadaan jika ia menghampiri Woo Hyun.
‘Apakah rasanya sesakit ini melihat orang yang kita cintai disakiti oleh orang di depan kita sendiri?’
“Ya!”
“Bwo? Masih tanya dimana letak kesalahan dirimu?”
Buk!
Lagi-lagi Sung Yeol mendengar suara hantaman keras itu. Apa yang terjadi antara dua orang itu, ia tidak tahu sama sekali. Apakah salah jika ia hanya berdiri mematung seperti sekarang? Haruskan ia melerai pertengkaran yang bahkan ia tak tahu sebab pertengkaran itu terjadi.
“Aku benci dirimu yang tak peka,”
Setelah itu tak ada lagi suara yang terdengar di gendang telinganya. Ia mengusap air matanya agar Woo Hyun tak curiga. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju tempat Woo Hyun yang berdiri menunggunya sambil memasang senyum manisnya.
Tampak Woo Hyun memegangi gerahamnya masih menahan sakit akibat pukulan hebat Myung Soo. Sung Yeol segera mengelus pipi Woo Hyun dengan lembut.
“Ada apa dengan pipimu? Kenapa membiru seperti ini? Apa kau baik-baik saja?,” Bohongnya dengan membubuhi ekspresi khawatir pada wajahnya.
“Aku baik-baik saja, tenanglah. Aku membutuhkan P3K,”
“Sebaiknya kita cepat pulang,” putus Sung Yeol. Setelah itu, mereka meninggalkan sekolah yang memang tampak sepi karena jam sudah sore. Menekan pedal gas mobil merahnya, Woo Hyun segera menuju rumahnya, setelah ia meminta waktu Sung Yeol sedikit untuk membantunya mengobati luka ringan pada kedua tulang pipinya.
^^^*^^^
Ke esokan harinya seperti biasa. WHS selalu tampak indah di lihat dari depan. Segar dengan taman yang mengelilinginya, bersih, dan memang sangat nyaman untuk dijadikan tempat belajar. Sementara di sisi lain, Sung Gyu dan Myung Soo sepertinya sedang senang. Terlihat mereka yang tak pernah melepas kedua sudut bibir mereka untuk tetap terus terangkat membentuk sebuah garis lengkung yang enak dipandang sebagai pencuci mata.
“Lalu bagaimana?” Tanya Myung Soo.
“Aku memukul cicak itu sampai cicak itu memutuskan ekornya ... hahaha,”
“Kau sadis, Gyu. Cicak itu hanya mendarat di atas kepalamu,”
“Biar, siapa suruh jatuh di atas kepalaku”
Ucapan Sung Gyu mengakhiri beberapa percakapan yang sempat tercipta diantara mereka berdua.
“Wah wah wah ... sepertinya kalian berdua lagi senang,” suara Woo Hyun membuat Sung Gyu sedikit terlonjak, tidak dengan Myung Soo.
Woo Hyun tiba-tiba sudah berdiri di samping Sung Gyu dengan Sung Yeol di samping Woo Hyun. Mata Sung Gyu terfokus pada rangkulan tangan Woo Hyun pada pinggang Sung Yeol. Seperti biasa, Myung Soo menatap Woo Hyun dengan tampang benci tanpa alasannya.
“Apa pukulanku kemarin masih kurang, ANAK EMAS WHS.” Ucap Myung Soo sambil menekankan kalimat terakhirnya. Sung Gyu mendongakkan kepalanya menatap Myung Soo, seakan-akan mata sipit itu meminta penjelasan dari ucapannya barusan.
“Kita berangkat saja Yeol. Dua orang bodoh. Yahh ... memang sangat cocok,” cibir Woo Hyun sambil berlalu dengan tampang angkuhnya seperti biasa. Membuat Myung Soo semakin mengepalkan tangannya siap untuk memberikan pukulan lagi pada namja bermarga Nam itu.
“Siapa yang bodoh! Sung Gyu tak pernah geser dari peringkat satu! Asal kau tahu itu, Tuan Nam JELEK!!” Teriak Myung Soo. Sedangkan Woo Hyun sudah berada jauh di depan sana menghiraukan ucapan menjenggelkan Myung Soo.
Sung Gyu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Myung Soo. Sejak kapan ia peduli dengan ucapan orang lain?
“Aku membutuhkan penjelasnmu, Tuan Kim.”
“Bwo?”
“Kau memukulnya?”
Diam. Myung Soo tidak menjawab, “Apa yang membuatmu sangat membencinya, Myung?”
“..........”
“Apakah karena aku?”
“..............”
“Apakah karena aku?” Tanya Sung Gyu lagi merasa tak ada jawaban.
“Jawab, Kim Myung Soo!”
“...............”
“Baiklah. Diam, berarti ‘iya’
“Iya. Aku memang memukulnya. Kenapa? Kau akan memarahiku? Iya?”
“............” kini Sung Gyu diam. Apa yang harus ia katakan? Haruskah ia memarahi Myung Soo. Seperti hari-hari sebelumnya saat Myung Soo selalu bersikap acuh pada Woo Hyun?
“Kau saja tak tahu, Gyu. Aku sakit saat melihat sahabatku menangis hanya karena laki-laki brengs*k seperti Woo Hyun.”
“.............”
Myung Soo memegang kedua pundah Sung Gyu kemudian berbisik pelan di depan wajah Sung Gyu. “Maafkan aku, aku tidak bisa sesabar dirimu,”
“Kenapa kau meminta maaf padaku?”
Myung Soo melepas tangannya dari kedua pundak Sung Gyu. “Hhmm.. hanya merasa bersalah,”
“Merasa bersalah?” Tanya Sung Gyu sambil menaikkan satu alisnya.
“.............” Myung Soo menggaruk tengkuknya.
“Seharusnya kau minta maaf pada Woo Hyun, bukan padaku,”
“Aku tidak mau,”
“Kau harus mau,”
“Tidak ...”
“...............”
Bukannya meladeni perdebatan kecilnya dengan Myung Soo, Sung Gyu malah meninggalkan Myung Soo. Berjalan mendahului Myung Soo.
“Gyu, eodiga?”
“Ikut aku ke belakang sekolah. Sebelum itu ambil buku di perpus, setelah itu kita ke tempat yang kemarin. Menunggu jam pulang sekolah, memberi permen, kemudian pulang. Persis seperti yang kemarin,”
“Sejak kapan Kim Sung Gyu berani bolos eoh!?”
“Sejak Kim Sung Gyu bersahabat dengan Kim Myung Soo.” Myung Soo terkekeh mendengar jawaban santai Sung Gyu.
“Ya! Tunggu aku!” Myung Soo mulai mengejar Sung Gyu yang tak jauh dari tempatnya berdiri, kemudian menyamakan langkahnya bersama Sung Gyu.
^^^^^*^^^^^
Seperti yang Sung Gyu katakan, mereka pergi ke perpus kemudian menuju taman belakang sekolah. Menghabiskan waktu dengan membaca buku di bawah pohon rindang sambil menikmati hempasan halus angin pada kulit masing-masing. Hanya suara gerakan-gerakan halus dahan dan ranting yang menyentuh indra pendengaran Myung Soo dan Sung Gyu.
Menghabiskan dengan membaca, menambah pengetahuan mereka tentang musim kesukaan masing-masing. Myung Soo si penyuka musim dingin, sedangkan Sung Gyu musim gugur. Keduanya tentu mempunyai alasan tersendiri untuk menetapkan musim favorite.
Myung Soo si Winter. Sesuai dengan kepribadiannya yang dingin. Hari pertama salju turun adalah waktu yang paling tepat untuk berdoa. Seperti 3 tahun lalu. Waktu hari pertama hujan salju, ia berdoa agar mempunyai seseorang yang peduli padanya, walaupun itu bukan seseorang yang ada diantara keluarganya. Dan terkabul. Tak lama setelah itu, setelah musim salju berganti dengan musim semi, seorang namja imut bermata sipit datang padanya. Bersikap manis seolah namja sipit itu tidak mempunyai beban hidup sama sekali. Mungkin itu adalah salah satu alasannya sangat menyukai musim salju.
Kring!!
Myung Soo menepuk punggung Sung Gyu membuat Sung Gyu sedikit terlonjak. Mungkin terlalu fokus dengan bacaannya, pikir Myung Soo.
“Bel pulang sudah berbunyi. Kita sebaiknya mengembalikan novel ini ke perpus. Setelah itu seperti biasa ...”
“Memberikan permen pada Woo Hyun,” lanjut Sung Gyu dengan raut bahagianya.
Myung Soo hanya bisa menampakka senyum tipisnya pada Sung Gyu. Senangnya hanya kqrena ia bisa melihat senyum Sung Gyu. Mirisnya karena sahabat yang sangat ia sayang ini melakukan hal manis secara rutin yang bahkan bisa-bisa berubah menjadi sebuah hal menyakitkan. Entah bagaimana nantinya takdir berjalan, Myung Soo hanya takut Sung Gyu tersakiti lebih daripada tak dianggap. Lebih daripada sekarang.
Mereka pun kembali ke perpus, hanya untuk mengembalikan novel. Setelah itu mereka menyusuri koridor sekolah, melangkahkan kaki menuju tempat loker Woo Hyun berada.
“Gyu, maaf aku tak bisa ikut denganmu. Kau duluanlah, aku ke toilet sebentar. Nanti kau tunggu aku di depan eoh! Jangan kemana-mana, aku akan mengantarmu,” ucap Myung Soo sambil tengah menahan sesuatu.
Sung Gyu mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya. Berharap seperti hari-hari sebelumnya. Memberikan permen tanpa susah. Bila pagi sudah tidak ada jejak. Mungkin Woo Hyun benar-benar mengambilnya. Sung Gyu berteriak senang dalam hati. Mungkin saja Woo Hyun memakannya.
Clek!
Sung Gyu membuka loker Woo Hyun. Dan ...
Dassshh!!
Setumpuk permen dengan jumlah yang tidak bisa dikatakan sedikit meluap dari dalam loker Woo Hyun hingga tercecer ke lantai. Sung Gyu menatap nanar permen-permen itu. Itu adalah permen yang ia berikan pada Woo Hyun selama satu tahun ketiganya di WHS. Otot yang tersimpan dalam tubuhnya tak bisa menahan bobotnya. Kakinya bergetar, matanya sudah tak mampu menampung genangan air mata yang sedari tadi ingin keluar dari tempatnya.
Sung Gyu menyentuh permen-permen yang masih layak makan itu. Perkiraannya salah, rupanya Woo Hyun hanya menumpuknya di suatu tempat namun tidak memakannya barang sebiji pun. Lalu apa maksud semua ini?
“Kim Sung Gyu ...”
Sebuah suara di belakang Sung Gyu mengalihkan perhatiannya dari permen-permen itu. Woo Hyun, orang yang ada di belakangnya sekarang. Sung Gyu mendirikan badannya, mengusap kasar air matanya. Menatap mata kelam Woo Hyun dengan tampang polos seolah-olah tak terjadi apapun pada hatinya.
“Woo- Woo Hyun-ah ...”
“Jadi kau orangnya?”
“Woo Hyun-ah ...”
Woo Hyun melangkah menuju tempat Sung Gyu berdiri, lalu mengambil toples permen yang ada di genggaman tangan Sung Gyu. Sesaat Sung Gyu tersenyum, mengira Woo Hyun akan mengambilnya dan memakannya kemudian mengucapkan kata ‘terimakasih’. Tapi ...
Prangg!!
Woo Hyun membanting toples kaca itu hingga pecah. Sung Gyu melihat betapa kerasnya Woo Hyun membanting toples itu. Tapi dia hanya bisa diam. Menatap pecahan-pecahan kaca dan permen yang berserakan dimana-mana. Ingat ketika malam ia selalu tidur tengah malam hanya untuk menghias toples dengan daun-daun kering yang menjadi favoritenya. Menempelkannya sebagai penghias toples kosong yang berisikan permen.
‘Myung Soo-ya .. kau kemana? Sepertinya sekarang aku membutuhkanmu. Bantu aku Myung Soo-ya’
“Kenapa kau melakukannya!” Bentak Woo Hyun. Sung Gyu tergagap mendengar pertanyaan Woo Hyun. Apa? Dia harus menjawab apa?
“..............” tak ada jawaban. Sung Gyu hanya bisa menundukkan pandangannya menghindari pandangan Woo Hyun.
Woo Hyun mendorong bahu Sung Gyu hingga Sung Gyu sedikit terdorong ke belakang. Lelehan air mata yang sengaja ia tutupi dari Woo Hyun kini sudah merembas membasaha pipi mulusnya.
“Jawab aku ...”
“............. aku mencintaimu ..” ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir Sung Gyu. Sung Gyu menggigit bibirnya berusaha menghilangkan rasa sakit yang mendera dada sebelah kirinya. Ia bisa menebak reaksi Woo Hyun setelah ini ...
“Tidak! Kau tak boleh mencintaiku!” Bentak Woo Hyun lagi sukses membuat Sung Gyu mendongakkan kepalanya melihat dua bola mata kelam Woo Hyun. Mata yang memancarkan kebencian akan dirinya.
“Tapi Woo Hyun-ah, aku tidak menyuruhmu membalasku,” air mata itu terus saja meluncur dari mata sipit Sung Gyu. Menghiraukan malunya ia seperti seorang pengemis cinta pada seorang chaebol angkuh.
“Stop!! Jangan kau sebut namaku dengan bibir menjijikkanmu itu!” Ucapan pedas nan menusuk itu langsung tertuju pada hati rapuh Sung Gyu. Ditambah Woo Hyun mengucapkan hal tersebut sambil menodongkan telunjuknya di depan mata Sung Gyu.
“Tapi aku hanya mencintaimu, aku tidak menyuruhmu membalasku eoh ...”
“Aku tidak mau dicintai oleh orang sepertimu!” Nada suaranya tidak turun, tetap sebuah bentakan yang terdengar ditelinga Sung Gyu.
“Kenapa?” Tanya Sung Gyu dengan nada berbisik.
“Karena kau terlalu menjijikkan untuk menjadi orang yang mencintaiku!”
“Tapi aku mencintaimu .."
“Persetan dengan cinta, kau terlalu menjijikkan!”
Woo Hyun hendak membalikkan badannya, namun sebuah tangan bergetar menahannya membuat Woo Hyun kembali menarik badannya. Tatapan jijik dan benci Woo Hyun lemparkan pada Sung Gyu.
‘Sebenci itu kah kau padaku?’
“Ku mohon, aku hanya mencintaimu ....” ucap Sung Gyu lirih sambil memegang tangan Woo Hyun. Tatapannya tak pernah lepas dari mata Woo Hyun.
“... kau tidak perlu membalasku. Kita bisa tetap seperti bia- ....”
Ucapan Sung Gyu terputus dengan hempasan kasar tangan Woo Hyun. Woo Hyun menarik tangannya menjauh dari Sung Gyu. Mengambil sapu tangan yang ada di saku seragam almamaternya, kemudian mengelapnya dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana seragamnya, menghindari sentuhan dengan rakyat jelata.
‘Semenjijikkan itu kah ...’
“Dengar, Kim Sung Gyu-ssi. Maafkan aku tadi membentakmu. Mumpung aku lagi baik hati, aku ingin mengingatkan. Ingat dirimu eoh! Siapa dirimu dan siapa diriku? Aku Nam Woo Hyun dan kau ...”
Dapat Sung Gyu lihat dari pancaran mata Woo Hyun. Tatapan menjijikkan itu sangat jelas. Nada cibiran dan ucapan lembut tapi bermakna tajam. Sung Gyu rasakan saat ini ...
Woo Hyun merdecak sebelum melanjutkan ucapannya, “Kau menjauhlah dariku, sebelum aku menyuruh kepala sekolah mencabut beasiswamu,”
Mata Sung Gyu membulat. Ini masalah hati dan mimpi. Suatu permasalah yang sangat berbeda. Keduanya sama-sama perihal penting dalam hidupnya. Mimpinya untuk mengubah kasta keluarganya sadangkan hatinya menginginkan untuk terus mencintai Woo Hyun.
Lama keduanya terdiam. Woo Hyun menunggu dan Sung Gyu berpikir keras untuk mengambil keputusan hingga air matanya kering tinggal bekas lembab di sekitar pipinya.
“Aku memilih keduanya ..” ucap Sung Gyu pada akhirnya, “Beasiswa dan hatiku. Beasiswa adalah peganganku untuk masa depan. Sedangkan hati ini apa? Aku juga tidak mau mencintaimu ...”
Woo Hyun terdiam. Apa maksud ucapan Sung Gyu? Bukankah Sung Gyu mencintaiya sejak awal masuk WHS? Kenapa Sung Gyu bisa berubah secepat ini?
“Hatiku yang memilih. Kau pikir aku senang mencintaimu? Tidak! Tidak, Nam Woo Hyun! Aku terus merasa sakit. Kau tidak pernah merasakan apa yang ku rasakan! Seberapa kejam cinta itu menyerangku selama tiga tahun. Kau tidak tahu betapa beratnya hariku ketika setiap hari aku harus melihatmu bermesraan dengan Sung Yeol. Lihat! Apa aku pernah mengganggu kalian berdua? Apa aku pernah menampakkan kesedihanku padamu? Tidak! Kau pikir aku ingin mempunyai perasaan ini eoh! Hiks ... hiks ..” tangisan kedua Sung Gyu pecah di hadapan Woo Hyun.
Lagi-lagi Woo Hyun terdiam. Apakah rasanya benar-benar sakit? Dan tangisan Sung Gyu di hadapanya ini, benar-benar mengandung haru. Ada apa dengannya? Kenapa ia harus peduli?
“Aku tidak peduli! Rasakan sendiri perasaan itu ...”
“Hiks ... hiks ... setidaknya biarkan aku mencintaimu sampai daun maple berjatuhan di jalanan Seoul ...”
“Terserah! ... kau tau ... sifatmu yang sekarang ini benar-benar terlihat seperti seorang rakyat jelata yang sedang mengemis cinta ... benar-benar menjijikkan,”
itu adalah ucapan terakhir Woo Hyun, sebelum Woo Hyun meninggakan Sung Gyu sendirian di koridor dengan permen-permen yang berceceran. Tangisannya benar-benar tidak bisa ia tahan. Sakit ...
‘sifatmu yang sekarang ini benar-benar terlihat seperti seorang rakyat jelata yang sedang mengemis cinta ... benar-benar menjijikkan’
Kata itu terus terngiang dalam benak Sung Gyu. Tangisannya semakin menjadi. Benar, hatinya memang sudah rusak, mungkin. Sampai-sampai hatinya harus mengarahkan matanya pada laki-laki seperti Nam Woo Hyun. Apakah rasa sakit ini merupakan rasa yang paling sakit? Atau sakit yang lebih masih menunggu untuk mendera ulu hati Sung Gyu?
‘Pada dasarnya cinta itu kejam dan tidak tahu sopan santun. Mereka hadir dalam hati mnusia tanpa pamit pada sang pemilik hati terlebih dahulu. Tumbuh pun tanpa pamit. Benar-benar tidak tahu sopan santun.”

TBC

0 komentar:

Posting Komentar